Motif Batik Tiga Negeri
Kalipucang Wetan Batang - Tak banyak yang tahu, masyarakat Islam Rifa’iyah
memiliki batik yang begitu khas. Para pemburu batik menamainya sebagai batik
Rifa’iyah. Sepintas batik ini kurang menarik, karena gambar-gambar yang
ditorehkan kaku. Padahal, justru kekakuan ini menjadi daya tarik tersendiri. Di
sini terkandung makna dan pesan bagi para pemakainya, yaitu mengingatkan
manusia untuk selalu menjalankan perintah, dan menjauhi larangan Allah SWT.
Kemunculan dan perkembangan batik Rifa’iyah dipengaruhi oleh budaya
pesisir. Disebut pula sebagai Batik “Tiga Negeri” karena Batik Rifa’iyah basik
teknisnya berasal dari Solo dan Jogja, namun bentuk serta warna Pekalongan
begitu kental.
Awalnya, batik ini dibuat untuk
memenuhi kebutuhan sandang, namun dalam perkembangannya malah bisa membantu
peningkatan perekonomian rumah tangga. Membatik oleh komunitas ini merupakan
pekerjaan yang dilakoni sejak kecil. Dahulu, membatik dilakukan oleh para
wanita ketika mulai beranjak dewasa atau menunggu dilamar.
Biasanya Batik Rifa’iyah dibuat
dalam bentuk kain panjang, sarung, dan selendang. Kain panjang dan sarung
dimaksudkan sebagai pakaian yang berfungsi fisis (penutup aurat).
Batik Rifa’iyah menjadi sebuah lambang
status sosial dan di pakai masyarakat Rifa’iyah berdasarkan pertimbangan nilai
moral dan kesopanan. Sehingga batik menjadi pengenal masyarakat Rifa’iyah,
selain itu lewat jarik atau sarung dapat mempererat tali persaudaraan,
sekalipun berbeda daerah dan tidak saling kenal.
Dari sisi perupaan, Batik
Rifa’iyah memiliki nilai estetis tinggi, walaupun dalam penggambarannya tidak
semua obyek dapat menjadi ragam motif. Menurut ajaran Islam, ragam hias yang
boleh dipakai dalam komunitas ini diyakini tidak menimbulkan syirik bagi
pembuat maupun pemakainya.
Hampir seluruh motif tidak
menggambarkan bentuk makhluk yang hidup (manusia, binatang), kalaupun ada
(binatang) dapat dipastikan bentuknya tidak sempurna atau hanya menyerupai
saja. Batik Rifa’iyah diyakini oleh komunitas ini sebagai pakaian yang sah
untuk beribadah, sholat maupun mengaji. Model pakaian masyarakat Islam
Rifa’iyah berkerudung, berbaju longgar, berlengan panjang, dan
ber-jarik/sarung.
Sarung atau jarik bermotif batik
Rifa’iyah, selalu dijadikan pelengkap seserahan perkawinan, selain digunakan
juga pada penggantin saat acara midodareni. Batik yang digunakan bisanya
bermotif materos satrio atau nyah pratin. Alasan pemilihan motif tersebut
karena terlihat lebih luwes dan halus, sehingga pemakainya tampak lebih elegan.
Ada pula motif batik Rifa’iyah
yang berfungsi sebagai penolak bala, yaitu batik Kluwungan. Batik ini dibuat
khusus untuk anak yang diapit dua saudara (kakak dan adik) yang telah meninggal
dunia. Dengan memiliki batik kluwungan ini diharapkan anak tersebut tidak
terkena sawan gila.
Sepintas motif batik Rifa’iyah
tidak ada bedanya dengan batik pesisir terutama batik Pekalongan. Beberapa
motif, pola dan warna juga diketahui mirip dengan batik Pekalongan yang banyak
terpengaruh oleh kebudayaan asing seperti Cina, Belanda, dan Arab.
Pembatik sangat jarang
menggambarkan bentuk-bentuk mahluk hidup. Pelukisan mahluk hidup mengalami
pen-distorsi-an, misalnya burung kakinya berubah menjadi cabang atau ranting
pohon. Ada juga penggambaran bentuk cacing atau ular yang kedua matanya
digambarkan terlihat keluar, seperti gambar wayang beber.
Ada juga penggambaran mahluk
hidup yang dilebih-lebihkan, digayakan atau distilasi sehingga bentuk binatang
terlihat menyerupai bentuk tumbuhan, misalnya gambar ayam yang kepalanya
diganti bentuk bunga, atau ekor burung dibuat panjang menjuntai mirip
daun-daunan yang panjang.
Intinya bentuk yang distilasi
atau pendistorsian ini menggambarkan hewan yang telah disembelih atau telah
mati.
Saat ini batik Rifa’iyah di
Kalipucang masih dibuat dan dipakai oleh komunitasnya. Terdapat tidak kurang
dari empat belas motif batik di sana, yaitu; banji, gemblong sakiris,
gendhakan, jeruk noi, kawung dolar, kawung jenggot, kluwungan, kotak kitir,
lancur, materos satrio, nyah pratin, pela ati, rama gendhong, dan tambal.
Nama-nama batik sangat berbeda dengan di Pekalongan yang banyak mencitrakan
pembuatnya. Atau tidak seperti batik vorstenlanden yang sarat makna dan
filosofi. Batik Masyarakat Islam Rifa’iyah ini lebih suka menamai dengan cara
sederhana dari bentuk visualnya.